Selasa, 17 April 2018

Analisis Kasus Pelanggaran Hak Cipta


Kasus Pertama

Probolinggo - Gembong pelaku peredaran VCD/DVD bajakan berjumlah dua orang di wilayah Kabupaten Probolinggo, diciduk. Mereka satu-satunya pembuat VCD bajakan dan pelaku pertama kali di Jawa Timur tahun 2016.

Mereka ditangkap di rumahnya setelah polisi mendapat surat tugas dari Asosiasi Penyalur dan Pengusaha Rekaman Indonesia (APPRI). Mereka yakni Anto Arifin asal Kecamatan Tegalsiwalan dan Hosen Dawafi, asal Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo.

Kedua pelaku melakukan penggandaan kaset VCD tanpa hak dan memperjual belikan kaset VCD/DVD bajakan.

Polisi berhasil mengamankan barang bukti berupa 1 buah laptop, 1 buah scener, 1 buah CD external, 1 buah printer, 1 buah set speaker, 750 keping VCD kosong, 65 keping VCD asli dalam kemasan, 200 keping VCD dalam kemasan, 25 lembar sampul bajakan, 1 bendel plastik sampul VCD dan 1 bendel kertas CD label.

Menurut Ketua umum APPRI Indonesia, Sandy, dalam 1 album kaset VCD/DVD jika di perjual belikan secara ilegal, kerugiannya mencapai Rp 200 juta, sedangkan barang bukti yang diamankan dari tangan ke dua tersangka ditemukan 50 album lagu yang diperjualbelikan.

"Kerugian APPRI dan kerugian negara mencapai Rp 10 miliar. Dari pantauan kami, di Probolinggo adalah yang tertinggi penjualan kaset VCD bajakan. Belakangan ini pembajakan kaset semakin tumbuh, malah yang ini tumbuh duplikator," kata Sandi kepada wartawan di Polres Probolinggo, Senin (18/4/2016).

Sementara Kasat Reskrim Polrs Probolinggo, AKP Mobri Cardo Panjaitan, terkait kasus yang ditemukan ini kasus pertama kali di Jatim 2016. "Ini merupakan duplikator, setelah pelaku lainnya tertangkap beberapa tahun lalu. Kami lakukan penagkapan setelah mendapat laporan dan surat tugas dar APPRI," jelas kasat.

Keduanya dikenakan UU hak cipta No 28 tahun 2014 pasal 113 ayat 4 dengan ancaman 10 tahun kurungan penjara.


Analisis
            Berdasarkan kasus pada artikel diatas, kasus tersebut adalah salah satu contoh pelanggaran hak cipta. Di indonesia hak cipta diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa Hak cipta adalah Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Selain itu juga dijelaskan pula dalam UU tersebut mengenai hak dari pemegang hak cipta. Dijelaskan dalam pasal 8 yaitu Hak Ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta merupakanPemegang Hak Cipta Untuk atau Ciptaan. Rinciannya pada pasal 9 dijelaskan mengenai pencipta atau Pemegang Hak Cipta Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk meiakukan: a. Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan; ataue. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan;C. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; Dan i. penyewaan Ciptaan.
            Sehingga berdasarkan hukum dalam UU tersebut, kasus tersebut adalah pelanggaran hak ciptaan. Hal ini karena peredaran ataupun penjualan VCD maupun DVD bajakan adalah ilegal sebab pendistribusiannya tanpa izin dari pemegang hak cipta.
            Sedangkan dalam sisi ekonomi, dengan adanya kasus tersebut, pemegang hak cipta telah dirugikan. Kerugian yang dialami pemegang hak cipta berupa kerugian dari hak royalti yang seharusnya di dapat oleh pemegang hak cipta.
            Dalam UU tersebut juga telah dibahas mengenai Royalti. Menurut hukum Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.
            Pelanggaran atas pemanfaatan hak cipta secara ekonomi juga telah di atur dalam UU tersebut. Pada pasal 116 UU Nomor 28 Tahun 2014 tercantum bahwa bagi Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
            Secara lebih spesifiknya, kasus tersebut juga dapat digolongkan dalam kasus pembajakan hak cipta. Menurut UU Nomor 28 Tahun 2014, Pembajakan adalah Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
            Sanksi bagi pembajakan hak cipta ada pada pasal 117 UU Nomor 28 Tahun 2014. Isisnya  bahwa bagi Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (21 yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling Iama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Sehingga apabila dilihat dari sisi hukum, pemegang hak cipta dapat menuntut orang yang melakukan pembajakan dan juga polisi juga berhak untuk menindak atau melakukan penangkapan terhadap orang yang melakukan pembajakan.






Kasus Kedua

Jakarta - Pemegang hak cipta album dan lagu Koes Plus mengadu ke Polda Metro Jaya gara-gara album lama band tersebut dirilis ulang tanpa izin. Pemegang hak cipta lagu mereka pun melaporkan label RPM yang mengeluarkan album tersebut.

Album yang dimaksud adalah album \\\'Dheg Dheg Plus\\\'. Hak cipta album tersebut dimiliki oleh Tommy Darmo. Album yang sebelumnya keluar pada 1969 itu kini telah dirilis ulang dan dijual di sebuah waralaba.

Hal itu disampaikan langsung pemegang hak cipta atas album tersebut, Tommy Darmo melalui kuasa hukumnya, Seletinus A Ola.

"Tidak ada perjanjian atau membeli hak cipta dari RPM ke Tommy Darmo,\\\" ungkap Seletinus saat ditemui Polda Metro Jaya, Selasa (6\/11\/2012).

Seletinus menambahkan kalau pihak RPM melanggar undang-undang No 12\/2009 tentang hak cipta. Ia pun mengajukan gugatan dan meminta ganti rugi senilai Rp 9,9 miliar.

"Secara perdata akan menggugat dan minta ganti rugi senilai Rp 9,9 Milyar ke RPM dan Bonita Musik." paparnya.

Sampai saat ini pihak RPM ataupun Bonita Musik belum berkomentar terkait gugatan ini.

(Sumber : https://hot.detik.com/music/2083808/album-koes-plus-dirilis-ulang-tanpa-izin-pemegang-hak-cipta-ngadu-ke-polda/228)

Analisis
            Berdasarkan kasus pada artikel diatas, kasus tersebut adalah salah satu contoh pelanggaran hak cipta. Awal dari kasus ini dimulai dari Pemegang hak cipta album dan lagu Koes Plus yang merasa album lama band tersebut dirilis ulang tanpa izin. Sehingga pemegang hak cipta pun melaporkan dan menuntut label RPM yang mengeluarkan album tersebut ke Polda Metro Jaya.
            Secara hukum, hak cipta telah di atur dalam Undang-undang. Salah satu UU yang mengatur hak cita tersebut adalah UU Nomor 28 Tahun 2014. Berdasarkan UU tersebut, Hak cipta adalah Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Sehingga berdasarkan hukum dalam UU tersebut, kasus tersebut adalah pelanggaran hak ciptaan. Hal ini karena perilisan ulang lagu Koes Plus dilakukan tanpa izin dari pemegang hak cipta.
            Berdasarkan UU tersebut pula, pelanggaran atas pemanfaatan hak cipta secara ekonomi juga telah di atur. Pada pasal 116 UU Nomor 28 Tahun 2014 tercantum bahwa bagi Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
            Sehingga tindakan pemegang hak cipta lagu Koes Plus yaitu dengan menuntut label RPM sah dimata hukum. Selain itu, berdasarkan UU tersebut pula, Polda Metro Jaya berhak dan berkewajiban untuk memperoses laporan/tuntutan dari pemegang hak cipta.
            Secara ekonomi, pemegang hak cipta juga telah dirugikan atas perilisan lagu tersebut tanpa izin. Hal ini dikarenakan pemegang hak cipta tidak mendapatkan royalti atas perilisan ulang lagu tersebut.
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 dijelaskan mengenai royalti yaitu imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Sedangkan Pelanggaran atas pemanfaatan hak cipta secara ekonomi juga telah di atur dalam Pada pasal 116 UU Nomor 28 Tahun 2014 yang isinya bahwa bagi Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (21 huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Suka dan duka Anda atau Keluarga Selama menjalankan WFH atau Pembelajaran Jarak Jauh

Coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menye...