Kasus Pelanggaran Undang-Undang Perindustrian
Nama : Muhammad Rifqi Hibatul Azizi
Kelas : 2ID06
NPM : 35416071
Matkul : Hukum Industri
Undang-Undang No 20
Tahun 2014.
Pada tanggal 17 September 2014 telah disahkan Undang-Undang No 20 Tahun
2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Disebutkan dalam
penjelasan bahwa pengaturan dalam Undang-Undang tersebut bertujuan untuk
melindungi kepentingan nasional dan meningkatkan daya saing nasional dengan
berdasarkan asas manfaat, konsensus dan tidak memihak, transparansi dan
keterbukaan, efektif dan relevan, koheren, dimensi pembangunan nasional, serta
kompeten dan tertelusur.
Keberadaan Bangsa Indonesia harus
memiliki daya saing sehingga mampu mengambil manfaat dari perkembangan era globalisasi.
Dalam konteks tersebut, daya saing harus dipandang sebagai kemampuan untuk
mengoptimalkan sumber daya yang dapat melindungi kepentingan negara,
keselamatan, keamanan, dan kesehatan warga negara serta perlindungan flora,
fauna, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sesuai dengan apa yang tertuang
dalam pasal 3 UU No 20 Tahun 2014 disebutkan bahwa Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian bertujuan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian bertujuan:
1.
Meningkatkan jaminan
mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan
transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha,
serta kemampuan inovasi teknologi;
2.
Meningkatkan
perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat
lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan,
maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
3.
Meningkatkan
kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang
dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri.. Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian diperlukan dalam berbagai sektor kehidupan termasuk
perdagangan, industri, pertanian, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
lingkungan hidup. Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian berlaku
terhadap barang, jasa, sistem, proses atau personel (Pasal 4 UU No 20 Tahun
2014).
Undang-Undang tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian memuat materi
pokok yang meliputi kelembagaan, Standardisasi, Penilaian Kesesuaian, kerja
sama, peran serta masyarakat, pembinaan, pengawasan, serta sistem informasi
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. Manfaat dari keberadaan UU No 20 tahun
2014 ini dipersiapkan untuk menghadapi Asean Economic Community (AEC)
atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015,
sehingga SNI sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk dalam
negeri.
Penerapan SNI di
Indonesia.
Sesuai amanat UU No 20 Tahun 2014 Pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa SNI
dapat diterapkan secara sukarela oleh Pelaku Usaha, Kementerian dan/atau
Lembaga Pemerintah Nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah. Namun dalam hal
berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian
fungsi lingkungan hidup, Kementerian/Lembaga Pemerintah Nonkementerian
berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara wajib dengan Peraturan Menteri
atau Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian (Pasal 24).
Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh
instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan
peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak
memenuhi ketentuan SNI atau habis masa berlakunya SNI maka dapat dibekukan
sementara, atau dicabut dilarang mengedarkan barang, memberikan jasa dan
menjalankan proses atau sistem serta mencakup pula larangan edar bagi barang
impor yang tidak sesuai dengan SNI.
Sanksi Bagi yang Melanggar Regulasi SNI secara Wajib.
Dengan Undang-Undang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang disahkan
pada September 2014 lalu, Pemerintah Indonesia tidak hanya akan memberikan
sanksi administratif tapi akan menerapkan sanksi tegas bagi setiap
penyalahgunaan aturan SNI wajib dengan ancaman pidana penjara atau denda. Dalam
UU Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian BAB X tentang Ketentuan Pidana Pasal
62 hingga 73 tertuang tentang adanya sanksi pidana bagi pihak yang melakukan
pelanggaran. Sanksi tersebut adalah :
1.
Pasal 62 : Setiap orang yang memalsukan SNI atau
membuat SNI palsu diberikan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 50 M.
2.
Pasal 63 : Setiap orang yang dengan sengaja
memperbanyak, memperjualbelikan, atau menyebarkan SNI tanpa persetujuan BSN
diberikan pidana paling lama 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4 M.
3.
Pasal 64 : Setiap orang yang dengan sengaja membubuhkan
tanda SNI dan /atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/ atau kemasan atau label
di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; membubuhkan nomor SNI yang
berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya akan dikenakan pidana penjara
paling lama 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4 M.
4.
Pasal 65 dan
66 : Setiap orang yang tidak memiliki asertifikat atau
memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau
dicabut yang dengan sengaja memperdagangkan atau mengedarkan Barang, memberikan
Jasa, dan/atau menjalankan proses atau sistem dikenakan pidana penjara paling
lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M
5.
Pasal 67 : Setiap orang yang mengimpor barang yang
dengan sengaja memperdagangkan atau mengedar Barang yang tidak sesuai dengan
SNI atau penomoran SNI dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 35 M
6.
Pasal 68 : Setiap orang yang tanpa hak
menggunakan dan/atau membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian dipidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M.
7.
Pasal 69 : Setiap orang yang memalsukan tanda SNI
dan/atau Tanda Kesesuaian atau membuat Tanda SNI dan/atau Tanda
Kesesuaian palsu dipidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 50 M.
8.
Pasal 70 : Setiap
orang yang dengan sengaja: menerbitkan sertifikat berlogo KAN; menerbitkan
sertifikat kepada pemohon sertifikat yang tidak sesuai dengan
SNI; menerbitkan sertifikat di luar ruang lingkup Akreditasi dipidana penjara
paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M.
9.
Pasal 71 : Setiap orang yang memalsukan sertifikat Akreditasi atau membuat
sertifikat Akreditasi palsu dipidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 50 M
10.
Pasal 72 : pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa : kewajiban melakukan penarikan Barang yang telah
beredar; kewajiban mengumumkan bahwa Barang yang beredar tidak sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan/atau perampasan atau penyitaan Barang
dan dapat dimusnahkan.
11.
Pasal 73 : pidana denda yang dijatuhkan terhadap
korporasi, diberlakukan dengan ketentuan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana
denda secara pribadi dan diberikan pidana tambahan berupa: pencabutan izin
usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Sanksi yang tegas sebagaimana disebutkan diatas membuktikan keseriusan
pemerintah untuk menegakkan perlindungan pada kepentingan nasional dan sebagai
usaha untuk meningkatkan daya saing nasional. Meski di sisi lain kesiapan dari
masyarakat industri di Indonesia untuk menjalankan regulasi yang telah
dirumuskan tidak bisa diabaikan. Untuk itu sinergi dalam berbagai bidang antara
pemerintah dan juga masyarakat Indonesia mulai dari sosialisasi regulasi, peran
serta masyarakat dalam melaksanakan SNI, perumusan SNI, membangun budaya
standar, serta melaporkan pelanggaran menjadi hal yang utama untuk bisa
diwujudkan.