MAKALAH PERNIKAHAN BEDA NEGARA
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Disusun Oleh:
Nama
: Muhammad Rifqi Hibatul Azizi
Kelas
: 2ID06
NPM
: 35416071
Dosen : Rafika Maulida
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA DEPOK
2017
LATAR BELAKANG
Latar Belakang
Keturunan manusia
tidak akan berlanjut tanpa adanya perkawinan, karena perkawinan
menyebabkan adanya keturunan dan keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang
menjadi masyarakat, dimana masyarakat adalah suatu wadah dari bentuk kehidupan
bersama yang di dalamnya individu dan atau kelompok sebagai anggotanya saling
mengadakan interaksi untuk kelangsungan hidupnya. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Aristoteles manusia sebagai Zoon Politikon, yaitu manusia sebagai mahluk
yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia
lainnya, sehingga manusia dikatakan disamping sebagai mahluk individu juga
sebagai mahluk social, dan untuk melangsungkan kehidupannya itu manusia
mempunyai kebutuhan – kebutuhan baik yang bersifat lahir maupun kebutuhan yang
bersifat batiniah. Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon
suami isteri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada
umumnya perkawinan dianggap sebagai suatu yang suci dan karenanya setiap agama
selalu menghubungkan kaedah – kaedah perkawinan dengan kaedah – kaedah agama.
Kecuali agama Islam, semua agama mensyaratkan peneguhan dan pemberkatan oleh
pejabat sebagai syarat sahnya.
Manusia dalam menempuh
pergaulan hidup dalam masyarakat, ternyata tidak dapat terlepas dari adanya
saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan,
sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial, yang suka berkelompok
atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan yang bersifat jasmani
maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun
seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu, maka ia tidak akan lepas
dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan
melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa
Hidup bersama antara
seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi
ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagaisebuah perkawinan.
Perkawinan (pernikahan)
pada hakekatnya, adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia.
Perkawinan campuran telah, merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas
masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah
menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya
dan orang Indonesia1. Menurut survei yang dilakukan oleh Mixed Couple
Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan
menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman
kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat
pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia, dengan
tenaga kerja dari negara lain2. Dengan banyak terjadinya
perkawinan campuran di Indonesia, sudah seharusnya perlindungan hukum
dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan
di Indonesia.
Berbagai masalah yang
dihadapi Negara Indonesia ternyata membawa imbas kepada perubahan dalam
berbagai hal Diantaranya adalah adanya perubahan UU No 62 Tahun 1958
menjadi UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Perubahan tersebut juga
mendasari adanya perubahan aturan dalam Keimigrasian Indonesia.
Fenomena ini merupakan fenomena yang harus disikapi bersama oleh banyak kalangan.
Perubahan ini tentu akan membawa dampak positif atau negatif terhadap setiap
Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan Warga Negara Asing.
Kedua sisi ini tentu selalu berdampingan. Untuk menghindari hal itu, agar semua
komponen aktif mengamati bahkan menilai perubahan yang terjadi.
Karena bagaimanapun
baiknya, UU kalau memang belum diketahui dan dipahami seluruh warga negara,
maka akan membawa dampak tersendiri, terutama pada hubungan antara Indonesia
umumnya dengan Negara lain. Kalau ditinjau dari hubungan antar wilayah, tentu
bervariatif. Karena bagaimana pun juga, setiap wilayah akan memberikan
tanggapan berbeda dengan pemberlakukan UU No.12 Tahun 2006. Ini memang
memerlukan pengkajian secara mendalam. Dalam konsep sosialisasi, terdapat
beberapa komponen yang mengalami reaksi terhadap perubahan pemberlakuan UU
tersebut.
Pertama, adalah
masyarakat sendiri, di mana aturan yang terlalu ketat akan mempengaruhi sistem
kependudukan di wilayah tersebut. Warganegara Indonesia yang sudah melakukan
perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing. Dengan terjadinya perubahan
ini, maka secara pribadi mereka tentu akan kembali melakukan koordinasi dengan
negara asalnya. Dan ada kemungkinan, penerimaan mereka pun akan semakin kurang
bersahabat. Langkah yang harus diambil, adalah lebih cepat melakukan koordinasi
dengan negara sahabat serta negara yang kebanyakan warga negaranya telah
membaur menjadi warga negara Indonesia atau masih belum masuk menjadi WNI. Ini
merupakan suatu tantangan untuk melaksanakan misinya merubah aturan lama. Hal
ini juga akan mengakibatkan semakin banyaknya warga negara Indonesia yang
memegang kewarganegaraan ganda. Dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan
lebih mudah melakukan kejahatan dan melarikan diri ke negara milik salah satu
pasangan. Selain itu proses penanganan keimigrasian pun akan semakin kurang
efektif.
Karena semakin ketat
aturannya, biasanya diikuti oleh birokrasi yang semakin panjang. Dan ini akan
menyebabkan keresahan bagi mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda. Kita
jadi teringat dengan kasus salah seorang anggota kepolisian RI yang memiliki
kewarganegaraan Ganda. Saat itu pula ia beralih kewarganegaraan menjadi WNA.
Karena alasannya sangat simpel. Ia mendapat fasilitas lengkap di negara
tersebut. Ini sungguh memprihatinkan.
Kedua, Berkaitan
dengan status dan kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran,
mengingat dengan diberlakukannya Undang-undang No.12 tahun 2006 tentu saja
membawa konsekuensi-konsekuansi yang berbeda dengan Undang-Undang yang terdahulu,
di mana seorang anak sudah terlanjur dilahirkan dari suatu perkawinan campuran.
Dalam
perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Pasal
57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: ”Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah, perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
STUDI KASUS DAN ANALISIS
Pengertian Tentang Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran
telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat. Globalisasi
informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma
bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang
Indonesia. Menurut hasil survei online yang dilakukan
Indo-MC tahun 2002,
dari 574 responden yang terjaring, 95,19% adalah perempuan warga WNI yang
menikah dengan pria WNA. Angka terbesar adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah
dan sahabat pena. Perkawinan campur terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan
tenaga kerja dari negara lain. Di lain pihak, Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI
Jakarta mencatat 878 perkawinan selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4
persennya adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA (829 pernikahan).
Angka tersebut belum termasuk pernikahan di KUA yang tidak didaftarkan di KCS
dan di seluruh Tanah Air
Perempuan WNI adalah
pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang berkaitan dengan
perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan. Salah satunya adalah UU
Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah menempatkan perempuan sebgai
pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur (Pasal 8 ayat
1) dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya.
Keadaan hukum
perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku
hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan
ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan,
yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara
dua orang yang berbeda kewarganegaraan.
Untuk memecahkan
masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang
perkawinan campuran yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken (Stb.
No. 158 Tahun 1898).
Menurut Pasal 1 GHR,
perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan”.
Pasal 1 di atas
memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu
yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas,
warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang
berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan,
penganut-penganut agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di
lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme
tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk dapat
memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan,
terutama yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan
agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan
hukum yangseragam.
Sementara itu,
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 memberikan definisi yang sedikit
berbeda dengan definisi di atas.Adapun pengertian perkawinan campuran yang
diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah : Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini untuk perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 57 membatasi
makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan
seorang yang bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara
sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara
RI.
Dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 maka ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam GHR dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak
berlaku. Oleh karena Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
menekankan perbedaan kewarganegaraan dan atau tunduk pada hukum yang berlainan
maka ketentuan GHR masih tetap berlaku sepanjang yang melakukan perkawinan
campuran itu adalah orang sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Purnadi Purbacaraka
dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai
berikut: Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur
using. Unsur using tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai
kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama
kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan
kedua-duanya.
Perbedaan hukum yang
ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu:
1. Perkawinan
Campuran Antar Golongan ( intergentiel ) Menerangkan hukum mana atau
hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang
masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada
peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang
Indonesia asli.
2. Perkawinan
Campuran Antar Tempat ( Interlocaal) Mengatur hubungan hukum (perkawinan)
antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat.
Misalnya, orang Minang kawin dengan orang Jawa.
3. Perkawinan
Campuran Antar Agama (interreligius) Mengatur hubungan hukum (perkawinan)
antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama
yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang
Kristiani. Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan
2.2.2. Tata
Cara Perkawinan Campuran
Tata cara perkawinan
campuran di atur dalam Pasal 59 ayat (2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang menentukan sebagai berikut :
1. Perkawinan
campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan
ini.
2. Perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif dipenuhi dan karena itu
tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka mereka
yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah
terpenuhi.
3. Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu maka
atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak boleh dimintakan banding tentang soal apakah penolakan pemberian surat
keterangan itu beralasan atau tidak.
4. Jika
Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam Pasal 60 ayat (3)
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
5. Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.
6. Perkawinan
campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2.2.3. Hubungan
Orang Tua Dan Anak
Hubungan antara orang
tua dan anak sebagai hasil perkawinan harus mendapat perhatian khusus. Apalagi
hubungan antara orang tua dan anak sebagai hasil perkawinan campuran. Hal yang
perlu diperhatikan adalah masalah kewarganegaraan anaknya. Apakah anak tersebut
akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya. Sepanjang tidak ada perbedaan
kewarganegaraan dalam keluarga, tidak akan menimbulkan banyak masalah. Namun, ketika
terdapat perbedaan kewarganegaraan, maka hal ini akan menimbulkan masalah.
Orang tua mempunyai
kekuasaan tertentu atas anaknya. Kedua orang tua mernpunyai kewajiban untuk
metnelihara dan mendidik anaknya sebaik mungkin sampai anak tersebut kawin atau
dianggap dapat berdiri sendiri. Begitu pula sebaliknya, anak harus menghormati
dan mentaati kehendak orang tuanya. Orang tua juga wajib memberi nafkah kepada
anak-anaknya.
Bila terdapat
perbedaan kewarganegaraan antara orang tua dan anaknya maka harus dilakukan
pemilihan mengenai hukum yang menentukan status kewarganegaraan mereka. Menurut
Undang- Undang No.62 tahun 1958, status kewarganegaraan anak akan mengikuti
kewarganegaraan bapaknya. Seorang anak yang ayahnya adalah Warga Negara
Indonesia maka anak tersebut akan menjadi WNI Namun sebaliknya, bila anak
tersebut memiliki ayah yang WNA maka anak tersebut akan mengikuti status
kewarganegaraan bapaknya.
Anak yang lahir dari
hasil perkawinan campuran dan terdaftar sebagai WNA, umumnya akan mengalami
kesulitan ketika ayahnya yang WNA bercerai dengan ibunya yang WNI karena
Pengadilan dari suami yang berkewarganegaraan lain akan menyerahkan tanggung
jawab pengasuhan kepada ayahnya. Begitu pula ketika ayahnya meninggal, status
anak tetap saja mengikuti kewarganegaraan ayahnya sampai anak tersebut dewasa
untuk menentukan kewarganegaraannnya sendiri. Hal ini tentu saja akan membuat
kondisi arak dan ibunya dalam keadaan yang sulit.
Sementara itu, jika
mereka memilih bermukim di Indonesia, perangkat hukum keimigrasian secara
substantif tidak mengatur orang asing dalam perkawinan campuran ini. Ayah dan
anak tersebut diperlakukan kurang lebih lama dengan orang asing lainnya.
Sepertinya ada kontradiksi dengan apa yang dianut dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 yaitu asas kesatuan kewarganegaraan dalam
perkawinan. Jikasecara eksplisit diamanatkan dalam UU tersebut, setidaknya
harus ada kemudahan khusus dalam perangkat hukum Keimigrasian.
Sering pula terjadi
dalam banyak kasus bahwa perkawinan campuran ini dapat menimbulkan masalah di
mana mereka (ayah) yang membawa anak-anaknya dengan semena-mena atausebaliknya,
meninggalkan anak dan istri tanpa memberi nafkah.
Masalah kedudukan anak
yang lahir dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 dan 12 Stb. 1898/158.
Pasal 11 menyatakan bahwa kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran
adalah mengikuti kedudukan hukum bapaknya. Keadaan demikian bahkan tidak dapat
dipertikaikan, walaupun surat nikah ayah ibu mereka ada kekurangan
syarat-syarat atau bahkan dalam hal tidak adanya surat nikah tersebut pun
kedudukan anak itu tidak dapat dipertikaikan asalkan pada lahirnya kedua orang
tua mereka itu secara terang hidup sebagai suami istri (Pasal 12).
Hubungan orang tua dan
anak ini termasuk dalam bidang onderlijke macht atau kekuasaan
orang tua. Di Indonesia, hubungan kedua orang tua dan anak ditentukan oleh
hukum sang ayah. Status anak sendiri dibagi dalam 2 bagian, yaitu:
1. Anak yang sah, yaitu anak yang lahir
dalam perkawinan orang tua.
2. Anak tidak sah, dapat dibagi menjadi
3 bagian, yaitu anak yang lahir dari hubungan incest,anak yang
lahir dari perzinahan, dan anak yang lahir di luar nikah.
DAFTAR PUSTAKA
- http://www.gresnews.com/berita/tips/123238-syarat-hukum-perkawinan-campuran/0/
- http://everythingaboutvanrush88.blogspot.co.id/2015/09/syarat-syarat-formil-dan-materil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar